SEP-3

Bagian III

“Apa kamu yakin dengan keputusanmu itu?”

Saat Ben bertanya kepada Ah Jue di suatu hari tanpa Ah Nan, Ah Jue tersenyum dengan percaya diri. Ia mengangguk pasti.

“Tidak akan pernah kecewa terhadap keputusanku sendiri.”

Ben menatap wajah Ah Jue yang pucat dan tubuhnya yang kurus dengan pahit. Berhari-hari ia terus merenungkan ini dan pada akhirnya Ben menyerah. Ben tahu Ah Jue tidak pernah berniat untuk melakukan pengobatan kankernya. Seseorang yang berniat tidak sembuh mungkin memang hanya sebuah kesia-siaan.

Ah Jue berpura-pura tidak memperhatikan wajah Ben. Ia dengan tenang merapikan barangnya lalu dengan senyum simpul pamit meninggalkan bangsal itu dengan Ben. Ketika dalam perjalanan, Ben mengatakan sesuatu kepada Ah Jue.

“Lusa, aku libur selama tiga hari. Mari pergi bertiga ke perdesaan untuk mencari obat herbal untuk obatmu. Kali ini kamu tidak bisa membantah.”

Sebenarnya, Ah Jue tidak berniat membantah. Dia paham betul Ben menyalahkan dirinya sendiri karena tidak mampu terhadap penyakit Ah Jue. Selama Ben tidak memaksanya untuk berobat ke rumah sakit, tidak masalah.

Dua hari kemudian, Ah Jue, Ah Nan, dan Ben telah sampai di perdesaan yang berjarak 4 jam dari kota tempat tinggal mereka.  Sepanjang perjalanan dengan kereta, Ah Nan terus mengoceh tanpa henti bertanya ini-itu. Ben akan senang hati menjawab dengan Ah Jue sesekali membalas.

“Oke kita sampai. Kita akan menginap di wisma ini. Ah Jue, kamu tunggu disini. Aku dan Ah Nan akan mencari-mencari tempat pengobatan herbal itu. Jika ada apa-apa kamu harus menelponku.”

Ah Jue dengan ringan mengangguk. Sejak beberapa hari yang lalu Ah Jue telah memotong pendek rambutnya yang terus menerus rontok. Ia sekarang mengenakan tudung kepala dengan syal yang melilit di sekeliling lehernya. Wajahnya yang tirus dan pucat akan membuat orang-orang disekelilingnya menatapnya dengan kasihan. Tetapi Ah Jue tidak peduli. Kanker tetap kanker. Penyesalan hanya membuat hidupnya semakin pendek.

Sekitar satu jam diam di dalam kamar. Ah Jue akhirnya tidak betah menunggu dan secara sembarangan melangkah masuk ke bukit di dekat wisma yang telah diperhatikan Ah Jue sejak dalam perjalanan menuju wisma ini. Seakan mengikuti instingnya, Ah Jue sampai di suatu tempat di dalam bukit yang penuh dengan rumput-rumputan dan jika Ah Jue tidak salah lihat, banyak tumbuhan semanggi disini.

“Apa kebetulan,” kata Ah Jue bersikap meremehkan menatap semak-semak semanggi itu.

Ah Jue berjalan keliling tempat itu dengan sikap tidak peduli. Ia hanya mengamati sekitar sembari menghirup udara segar yang mengisi paru-parunya. Untuk sekejap Ah Jue merasakan masa sebelum ia mengetahui bahwa ia mengidap kanker.

“Kenapa tidak ketemu-ketemu?”

Suara yang kekanakan itu mengintrupsi kegiatan Ah Jue. Ah Jue mengernyitkan dahi tidak menyangka akan ada orang lain di dalam hutan ini. Penasaran, Ah Jue mengikuti suara itu dan ketika melihat siluet seseorang, Ah Jue terdiam kaku.

Dalam hidupnya, mungkin diantara semua orang yang dia kenal, tidak ada yang bisa dibandingkan dengan ketampanan lelaki di depannya. Tubuhnya yang tinggi dan lurus dengan profil samping yang menawan serta tulang hidung yang tinggi. Ah Jue akhirnya tahu apa yang disebut dengan ketampanan yang memikat.

Merasa diperhatikan, lelaki tampan itu menatap ke arah Ah Jue dengan tatapan malas. Wajahnya acuh tak acuh seolah-olah kehadiran janggal orang lain dalam hutan ini bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Hanya beberapa detik bagi lelaki itu menatap Ah Jue sebelum mengalihkan fokusnya ke arah anak laki-laki yang berjongkok tidak jauh darinya.

Ah Jue akhirnya tersadar. Ia mengerutkan kening ketika ia dengan bodohnya menatap lelaki itu dengan linglung. Setelah itu Ah Jue tersenyum sinis ketika menyadari bahwa takdir sedikit mempermainkannya. Ah Jue tidak mau mengakui bahwa ini bisa disebut cinta pada pandangan pertama. Cinta apanya. Tidak ada cinta bagi orang yang akan mati.

Sedangkan pemilik suara kekanakan yang sedang berjongkok itu juga merasakan akan kehadiran asing, mendongakkan kepalanya. Ketika melihat seorang gadis kurus dan pucat menatap ke arah kakaknya. Anak laki-laki itu berdiri dan menghampiri Ah Jue dengan senyum lebar.

“Kakak perempuan ini juga mencari daun semanggi, ya?” kata anak laki-laki itu dengan percaya diri.

Ah Jue yang telah kembali normal akhirnya menatap anak laki-laki itu dengan wajah tenangnya namun kemudian memasang wajah tidak setuju ketika anak laki-laki berbicara dengan penuh percaya diri.

“Aku tidak mencarinya. Hanya daun. Bukankah ada ratusan disini?” tanya Ah Jue dengan suara rendah.

Anak laki-laki itu mengerucutkan bibir tidak setuju. “Bukan daun semanggi yang ini! Aku mencari daun semanggi empat daun! Di buku bilang kalau daun semanggi empat daun bisa mengabulkan harapan.”

Satu lagi orang konyol yang percaya kepada daun.

Ah Jue ingin membantah jawaban anak kecil itu tetapi diintrupsi oleh lelaki tampan yang sejak tadi tidak bersuara.

“Yue. Ayo kembali.”

Anak kecil yang dipanggil Yue itu menatap kakak lelakinya dengan wajah tidak setuju. “Tapi.. kita belum menemukannya. Aku harus menemukannya untuk kakek!”

Anak kecil itu merajuk namun lelaki tampan itu tidak peduli. Ia berjalan menuju Ah Jue dan anak kecil itu tanpa sedikitpun melirik Ah Jue. Sikapnya yang acuh tak acuh membuat Ah Jue bingung tetapi ia juga tidak berniat untuk menyapa lelaki itu. Kemudian mereka melangkah pergi melewati Ah Jue.

Ah Jue terdiam sembari menunduk ke bawah. Ketika ia memfokuskan sesuatu pada sepatunya, ia mendapati ada semanggi empat daun tepat di ujung sepatu kananya. Ah Jue terdiam dengan kejadian kebetulan ini. Dengan pelan mencabut semanggi itu, Ah Jue tanpa sadar berbalik ketika matanya fokus pada punggung lebar lelaki itu dengan bimbang.

“Anak kecil, tunggu.”

Panggilan itu menghentikan langkah kedua orang asing itu. Mata lelaki tampan itu jelas menampakkan sedikit ketidaksukaan namun Ah Jue bersikap tidak tahu dan melangkah pelan menuju anak kecil yang hanya setinggi pinggangnya yang mengingatkan Ah Jue akan Ah Nan.

“Ini,” kata Ah Jue sembari menyodorkan sesuatu kepada anak kecil itu.

Anak kecil itu awalnya bingung hanya saja saat menatap apa yang ada di tangan Ah Jue, ia memekik senang. Anak kecil itu menyambar semanggi empat daun itu sambil berkata terima kasih.

Ah Jue hanya mengangguk tanpa ekspresi lalu meninggalkan dua orang asing itu tanpa mengucapkan selamat tinggal.

Anak lelaki itu masih fokus pada semanggi di tangannya. Setelah itu ia dengan riang menunjukkannya ke depan laki-laki di sampingnya.

“Lihat! Kita pasti menemukannya..”

Perkataan anak kecil itu tidak mendapatkan respon dari lelaki tampan itu karena pandangannya terfokus pada punggung rapuh Ah Jue. Ada kilau aneh di matanya sesaat sebelum kembali normal.